Ketika Sepatu Futsal Kalah oleh Kemanusiaan ‎
Muhammad Zyiean Lineyra. Foto: Dok. Pribadi

GUMPALANNEWS.COM I Banda Aceh - Hujan yang turun tanpa jeda pada 26–27 November 2025 membawa kabar duka bagi Aceh. Bencana banjir hidrometeorologi meluas, menimpa 18 kabupaten dan kota, merendam rumah, jalan, dan harapan ribuan warga yang tak sempat bersiap.

‎Air bah datang bukan sendiri. Ia membawa lumpur, potongan batang pohon, hingga kayu-kayu gelondongan yang lepas dari hulu, melaju tanpa ampun ke permukiman warga. Di Aceh Tamiang, deru air itu menjelma menjadi kehancuran.

‎Banda Aceh, 4 Desember 2025. Di sebuah ruang sederhana, layar televisi menyala. Tayangan berita menampilkan banjir yang seolah tak bertepi. Di sanalah Zyiean terpaku, matanya tak berkedip, dadanya terasa sesak.

‎Zyiean masih remaja. Ia duduk di kelas 2 Tsanawiyah Pesantren Babun Najah. Usianya muda, namun hatinya belum kehilangan rasa.

‎Ia menyaksikan bagaimana air cokelat pekat menerjang rumah-rumah warga. Kayu gelondongan sebesar pelukan orang dewasa menghantam dinding, merobohkan atap, dan menyapu bersih apa pun yang dilewatinya.

‎Di balik layar, orang-orang lalu lalang berjalan tanpa harapan, anak-anak yang menangis, dan orang tua yang kebingungan menyelamatkan sisa hidup mereka. Pemandangan itu diam-diam memantik empati Zyiean.

‎“Kasihan mereka. Di mana mereka tidur. Bagaimana mereka makan,” ucap Zyiean lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Pertanyaan sederhana itu menggantung, namun sarat makna kemanusiaan.

‎Hatinya tak tenang. Ada dorongan yang membuatnya bangkit dari duduk. Bukan untuk mengalihkan pandangan, melainkan untuk melakukan sesuatu, sekecil apa pun.

‎Zyiean melangkah menuju lemari bajunya. Ia membuka pintu kayu yang sederhana, lalu meraih lembar demi lembar uang yang telah lusuh.

‎Uang itu bukan jumlah besar. Itu adalah tabungan dari sisa uang jajan yang ia kumpulkan pelan-pelan, hari demi hari, dengan sabar dan harapan.

‎Sebenarnya, uang tersebut punya tujuan lain. Zyiean menyimpannya untuk membeli sepatu futsal yang telah lama ia idam-idamkan, sepatu yang sering ia bayangkan menemaninya berlari di lapangan.

‎Namun sore itu, keinginan itu luruh. Ia menggenggam uangnya erat, seolah menguatkan keputusan yang telah bulat di hatinya.

‎"Adek pengen sumbangkan uang ini buat mereka di sana,” ucap Zyiean tegas, suaranya mantap namun penuh keikhlasan. Tak ada ragu, tak ada hitung-hitungan.

‎Di tengah bencana besar yang menelan banyak cerita pilu, tindakan Zyiean mungkin terlihat kecil. Tetapi justru dari ketulusan itulah, kemanusiaan menemukan maknanya.

‎Banjir mungkin telah merenggut rumah dan harta benda warga Aceh, namun di tempat lain, ia menumbuhkan empati di hati seorang remaja. Bukan seperti penguasa, yang lebih sibuk membangun pencitraan dan mencibir inisiatif sebagian warga negara yang tergerak membantu saudaranya.


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...

Berita Terkini