Dua Dekade Perdamaian Aceh: Dari Luka Konflik Menuju Cahaya Harapan
GUMPALANNEWS.COM I Banda Aceh - Langit Banda Aceh pagi itu begitu cerah. Birunya nyaris tanpa noda, sementara matahari telah naik sepenggalah, menebar sinar hangat ke setiap sudut kota. Di pelataran Gedung Balai Meuseuraya Aceh (BMA), barisan petugas kepolisian berdiri rapi, menjaga jalannya sebuah momen bersejarah. Jumat, 15 Agustus 2025, lautan manusia tumpah ruah, pejabat, tokoh masyarakat, duta besar negara sahabat, hingga warga biasa, semua datang dengan satu alasan: merayakan 20 tahun perdamaian Aceh.
Dua dekade bukanlah waktu yang singkat. Ingatan tentang dentuman senjata, patroli bersenjata di jalanan, dan tangis keluarga korban konflik masih tersimpan di benak sebagian orang. Namun hari itu, suasana berbeda terasa di BMA. Haru, bangga, dan doa-doa lirih berpadu dalam suasana yang penuh persaudaraan. Luka masa lalu mungkin belum sepenuhnya hilang, tapi perdamaian telah membuka jalan bagi harapan baru.
Dalam sambutannya, Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem, yang juga saksi sejarah perdamaian, menegaskan arti penting momen itu. “Hari ini kita memperingati dua dekade berakhirnya konflik panjang, momen bersejarah yang membawa nikmat keamanan, stabilitas, dan persaudaraan. Aceh kini adalah salah satu provinsi teraman di Indonesia. Itu fondasi penting bagi pembangunan,” ucapnya tegas, disambut tepuk tangan hadirin.
Mualem menyebutkan, perdamaian telah melahirkan banyak capaian, penghargaan nasional di bidang keterbukaan informasi, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sepuluh tahun berturut-turut, hingga membaiknya iklim investasi. Namun, ia juga mengingatkan tantangan besar yang masih menghadang, tentang kemiskinan, soal pengangguran, mutu pendidikan, dan daya saing sumber daya manusia.
“Peringatan ini bukan sekadar nostalgia. Ini pengingat agar konflik tak terulang, sekaligus peneguhan Aceh sebagai laboratorium perdamaian yang diakui dunia,” katanya.
Dari podium yang sama, Wali Nanggroe Aceh, Teungku Malik Mahmud Al Haythar, menyuarakan kegelisahan yang berbeda. Baginya, dua dekade perdamaian harus jadi momentum mempercepat penyelesaian agenda-agenda yang tertunda.
“Banyak butir penting belum terlaksana, mulai dari pengelolaan sumber daya alam, pembentukan lembaga khusus, pengakuan simbol, hingga penyelesaian masalah korban konflik,” ujarnya lantang. Ia menekankan bahwa perdamaian sejati tidak cukup dengan seremoni,melainkan harus menghadirkan kesejahteraan nyata bagi rakyat.
Kehadiran para tokoh nasional, perwakilan pemerintah pusat, hingga diplomat asing semakin menegaskan bahwa Aceh bukan hanya kisah lokal. Perdamaian Aceh adalah inspirasi global—bukti bahwa konflik bersenjata bisa diselesaikan melalui dialog dan kesepakatan, bukan peluru dan darah.
Di sela acara, tampak wajah-wajah masyarakat yang sumringah. Ada yang membawa anak-anak mereka, seakan ingin memperlihatkan bahwa generasi baru Aceh tumbuh di tanah yang damai. Suasana keakraban mengisi ruangan, begitu kontras dengan situasi dua dekade lalu ketika rasa takut lebih akrab daripada senyum.
Puncak peringatan ditandai dengan pelepasan burung merpati putih oleh sejumlah petinggi daerah Saat sayap-sayap itu mengepak tinggi ke angkasa, semua mata menengadah ke atas., seraya berdoa: semoga Aceh benar-benar damai untuk selamanya.
Di sekelilingnya, wajah-wajah penuh harapan memenuhi tempat tersebut. Ada yang menitikkan air mata, ada yang menangkupkan doa, ada pula yang tersenyum lega. Setiap orang membawa cerita masing-masing, tapi semuanya bertemu pada satu titik: syukur atas dua dekade tanpa konflik.
Dua puluh tahun perjalanan damai bukanlah akhir, melainkan awal dari tugas panjang. Dari gedung megah BMA hingga pelosok desa, gema yang sama terus terdengar: Aceh telah memilih jalan damai, dan komitmen itu harus terus dijaga demi masa depan generasi berikutnya.